Sejarah Kesultanan dan Kerajaan Kubu

Sejarah Kerajaan Kubu

 

Sejarah Kerajaan Kubu sangat terkait dengan sejarah Kesultanan Pontianak. Sejarah patut berterima kasih kepada sekelompok kecil petualang dan pedagang Arab yang berhenti di sana atas munculnya dan berdirinya dua kerajaan ini pada awalnya. Saat itu, 45 penjelajah Arab dari daerah Hadramaut di Selatan Semenanjung Arab, yang awalnya bertujuan untuk mencari keuntungan dengan berdagang di laut Asia Timur (Asia), mendarat di sana. Leluhur dan Tuan Besar (Raja) pertama Kerajaan Kubu, yaitu Syarif Idrus Al-Idrus, adalah menantu dari Tuan Besar (Panembahan) Mampawa (Mempawah). Dia, Syarif Idrus, juga merupakan ipar dari sultan pertama Kesultanan Pontianak (Al-Qadri). Awalnya, Syarif Idrus membangun sebuah desa dekat muara Sungai Terentang, di barat daya Pulau Kalimantan.

 

Seperti keluarga sepupunya (Al-Qadri), keluarga Syarif Idrus Al-Idrus (Idrusi) berkembang menjadi keluarga yang sangat kaya melalui perdagangan yang maju. Mereka membangun hubungan baik dengan Inggris selama pemerintahan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles (yang membangun Singapura), ketika Raffles ditugaskan ke Hindia Belanda. Hubungan ini berlanjut hingga setelah kembalinya Belanda ke Indonesia (Hindia Belanda) dan perintisan pembangunan Pulau Singapura.

Namun, hubungan ini tidak disukai oleh Kerajaan Belanda, yang secara formal menguasai Pulau Kalimantan berdasarkan perjanjian negara yang dibentuk pada tahun 1823. Beberapa anggota keluarga Al-Idrus juga mengalami perubahan kesejahteraan menjadi sengsara pada waktu itu. Beberapa dari mereka meninggalkan Kalimantan untuk menghindari sikap buruk Belanda menuju daerah Sarawak, yang saat itu merupakan wilayah Kerajaan Inggris, dengan harapan yang lebih baik untuk sukses dalam perdagangan. Sementara itu, keluarga Al-Idrus yang memilih untuk tetap tinggal di Kubu, tidak menerima kehidupan atau perlakuan yang lebih baik dari pemerintah Belanda.

 

Menurut Staatsblad van Nederlandisch Indië, voor het jaar 1849, wilayah ini termasuk dalam wester-afdeeling van Borneo berdasarkan Bêsluit van den Minister van Staat, Gouverneur-Generaal van Nederlandsch-Indie, pada 27 Agustus 1849, No. 8.

Pemerintah Belanda mencopot Syarif Abbas Al-Idrus dari posisi Tuan Besar Kerajaan Kubu dengan dukungan dari sepupunya, Syarif Zainal Al-Idrus, ketika terjadi perebutan posisi raja pada tahun 1911. Pada akhirnya, ia terbukti kesulitan dalam memerintah dan dicopot tanpa memiliki pewaris/penerus yang jelas, delapan tahun kemudian. Ketiadaan pewaris tahta baru ditetapkan dan disahkan beberapa tahun kemudian. Sehingga pejabat kerajaan yang ada selama periode itu hanya “penguasa sementara”.

 

Setelah beberapa waktu, Syarif Salih akhirnya menerima kehormatan besar untuk berkuasa sebagai raja, tetapi kemudian ditahan ketika tentara Jepang tiba di Mandor pada tahun 1943.

 

Dewan Kerajaan dan Keluarga Kerajaan tidak dengan mudah menyetujui pemindahan Kerajaan kepada Syarif Salih. Hingga akhirnya Jepang menempatkan putra bungsu raja sebelumnya, Syarif Hasan, sebagai pemimpin Dewan Kerajaan, tetapi hal ini tidak terjadi karena Jepang terlebih dahulu kalah dalam Perang Dunia II dan meninggalkan Indonesia. Bahkan, ia baru menerima konfirmasi sebagai Pemimpin Kerajaan (Tuan Besar) Kubu pada tahun 1949, setelah Pemerintah Indonesia terbentuk. Kerajaan Kubu sendiri akhirnya berakhir dan menghilang ketika dihapuskan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1958.